let's go


Monday, April 09, 2012

Candi Badut Malang, Jawa timur

Candi Badut secara administratif terletak di Dusun Doro, Desa Karangwidoro, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur dan berada di Kaki gunung Kawi dengan ketinggian 508 meter di atas permukaan laut

Candi ini menempati tanah halaman, seluas 2.808 M2 di kelilingi oleh gunung sebelah barat gunung Arjuna, utara pegunungan Tengger, timur gunung Semeru dan selatan gunung Kawi.

Candi ini dahulu dikelilingi pagar tembok yang sekarang tinggal sisa- sisa pondasinya.Bangunan Candi terbuat dari batu Andesit, berdenah empat persegi panjang berukuran 17,27 m X 14,04 m dengan tinggi 8 m, menghadap ke barat. Secara vertical Arsitekturnya terdiri dari bagian kaki, tubuh dan atap.

Bagian kakinya terdiri dari bingkai bawah yang berupa pelipit dan badan kaki berupa bidang rata, dibagian depan terdapat tangga naik ke bilik candi, sebelum masuk ke bilik candi terdapat Selosan Pradaksinapatha ( tempat mengelilingi candi mulai dari arah kiri ke kanan/ mengkanankan candi ).

Bagian tubuh candi tampak tambun, pintu bilik berpenampil berhias Kalamakara yang merupakan gaya bangunan Jawa tengah.Pada tangga sebelah selatan terdapat Kinara Kinari. Pada ketiga sisinya terdapat relung berbingkai Kala-Makara.

Relung sisi utara berisi Arca Durga, sebelah selatan Arca Agastya dan sebelah timur harusnya Arca Ganesha tetapi sudah tidak ada.Di Kanan kiri pintu masuk juga terdapat relung kecil berisi Mahakala dan Nandiswara, yang disamping relung terdapat hiasan motif bunga.

Di dalam bilik candi terdapat Lingga dan Yoni.Pada pemugaran th 1925 di temukan Peripih diantara reruntuhan dinding luar bilik candi bagian belakang.

Atap candi saat ini telah rusak, berdasarkan kontruksi yang dimuat dalam OV ( Oudidkendrge Verstag) th.1929 tampak atapnya tingkat dua serupa dengan tubuh candi semakin mengecil ke atas dengan puncak bentuk matna. Hiasan pada bagian atap berupa antefik.

Di depan candi utama terdapat tiga bekas alas kaki, mungkin alas candi Perwara. Dengan adanya Arca Durga, Agastya dan Lingga Yoni maka candi ini bersifat agama Hindu.

Keberadaan candi ini dihubungkan dengan prasasti Dinoyo ber-angka th 682c (28 Nopember 760 M), jadi candi ini didirikan pada th.760 masehi dan merupakan candi tertua di Jawa Timur.

Candi ini ditemukan oleh EW.Mauren Brechter tahun 1921 M di tengah sawahdalam keadaan rusak, ditumbuhai pohon dan tertutup tanah, kemudian candi ini di pugar pada th. 1925- 1926 dibawah pimpinan De Hoan. Selanjutnya di pugar pada th. 1990/1991 s/d 1992/1993 oleh Depdikbud melalui Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur.



sumber: komunitas sejarah & budaya

Prajna Paramita Ternyata Bukan Ken Dedes

Diskusi tentang sosok ibu suri kerajaan Majapahit, Gayatri Rajapatni, yang menghadirkan sejarawan dan diplomat University of British Columbia, Kanada, Prof Paul Drake di kampus Unibversitas Negeri Malang (UM), Senin (2/4/2012), memunculkan tafsir terbaru, bahwa patung indah Prajna Paramita asal Singosari, Malang, sebenarnya bukan perwujudan Ken Dedes seperti selama ini dipahami.




Patung itu jika ditilik gaya artistiknya bisa dibuktikan berasal dari gaya era Majapahit (Majapahit style), dan diyakini sebagai perwujudan Gayatri Rajapatni.

Paul Drake yang mengantarkan bukunya Gayatri Rajapatni, Perempuan di Balik Kejayaan Majpahit (Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2012) yang disunting sejarawan Universitas Indonesia Manneke Budiman, bahkan menyejajarkan Gayatri sekaliber dengan Cleopatra, seorang perempuan kuat di Mesir yang bahkan membuat Caesar, kaisar Romawi tunduk.

Gayatri seorang perempuan yang menjadi pemikir dan dalang sejumlah peristiwa, termasuk perekrutan Mahapatih Gajah Mada, bahkan patut diduga ada di balik pembunuhan raja sah Majapahit Jayanegara (1309-1322).

Patut diyakini Gayatri adalah think tank di balik masa paling cemerlang dalam sejarah Nusantara, yakni Majapahit era Tribhuwana Tunggadewi dan Hayam Wuruk yang dibantu Gajah Mada.

Earl Drake melakukan riset sejarah Majapahit menurutnya secara sambil lalu selama sekitar 20 tahun, seraya menjalani tugasnya di Asia sebagai diplomat saat bertugas di Kuala Lumpur dan Jakarta, terutama saat menjadi Duta Besar Kanada di Indonesia. Earl Drake kelahiran 1928, mengakui terutama ia tertarik karena terpesona oleh wujud fisik (patung) Prajna Paramita yang sensual dengan puting payudaranya itu.

Patung itu pada masa kolonial disimpan di Leiden, Belanda, dari asalnya di Singosari, dan kemudian dikembalikan ke Indonesia lalu kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Setiap kali dibawa berpameran keliling dunia, termasuk di Paris dan Tokyo untuk pameran tema Asia, Prajna Paramita senantiasa menjadi pusat perhatian utama pengunjung pameran berkebangsaan barat. Perwujudan sikap samadhi pendeta perempuan itu demikian mempesona dengan wajah sendunya.

"Saya berkali-kali bertemu Prajna Paramita dan saya bertekad mempelajarinya," katanya.

Sejarawan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Negeri Malang (UM) Deni Yudo Wahyudi yang menjadi pembanding diskusi tentang Gayatri ini, Senin (2/4) mengaku, ia sebagai sejarawan dan umumnya masyarakat masih menganggap Prajna Paramita sebagai Ken Dedes, namun setelah membaca buku Earl Drake, ia membangun keyakinan berbeda, bahwa patung itu memang Gayatri.

Deni menjelaskan, gaya artistik patung Prajna Paramita itu diakuinya baru ia sadari sekarang. Patung itu duduk di atas teratai yang berada di luar vas. Itu sudah diketahui sejarawan, merupakan ciri patung Majapahit. Gayatri hidup pada jarak sekitar seratus tahun setelah era Ken Dedes, istri Ken Arok, Raja Singosari.

Deni merujuk pada kajian sejarawan UI Agus Aris Munandar dalam buku Aksamala: Untaian Persembahan untuk Ibunda Prof Dr Edi Sedyawati (2003) dan Rahardjo S (2002) Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno yang menunjuk lokasi Prajna Paramita yang berasal dari kompleks Candi Singosari (di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, sekarang), justru pas jika diidentikkan dengan Gayatri.

Sebab, pada era Ken Dedes, lokasi Kerajaan Singosari bukan di Singosari, melainkan di lokasi yang masih diperdebatkan di antara spekulasinya Gunung Buring sekarang (sekitar 20 km barat Kota Malang).

"Apakah Prajna Paramita itu Ken Dedes atau Gayatri, memang sudah lama jadi perdebatan. Namun, publik selama ini memahami bahwa Prajna Pramita adalah Ken Dedes," ungkap Deni.

Agus Arismunandar bisa dibaca dalam bukunya, kata Deni, bahwa Gayatri setelah meninggal dibuatkan arca Prajna Paramita dan didharmakan di Prajnaparamitapuri (suatu tempat) di Bhayalangu. Ini bisa ditafsirkan merujuk pada Kecamatan Boyolangu di Kabupaten Tulungagung masa kini.

Namun, sumber teks itu, Negarakertagama sebagai sumber utama sejarah Majapahit menyebut adanya kata juga dalam puisinya, yang dapat ditafsirkan ada dua Prajna Paramita. Sehingga, selain di Boyolangu, satunya ada di Singosari ini. Itu menjadikan tafsir, bahwa patung di Singosari adalah Gayatri, bukan Ken Dedes.

Namun, Prof Paul Drake yakin, ini adalah Gayatri, istri Raden Wijaya yang mengasuh Gajah Mada dan Hayam Wuruk pada masa kanak-kanak, dan dengan demikian merupakan pemilik cetak biru masa keemasan Majapahit.

malang.kompas.com 02-04-12

Saturday, April 07, 2012

Anusapati

Anusapati dalam Pararaton

Penaklukan Kadiri oleh Sang Rajasa (dalam Pararaton disebut Ken Arok) tahun 1222. Kadiri kemudian menjadi daerah bawahan menurut Prasasti Mula Malurung yang menyebutkan kalau raja bawahan di Kadiri adalah Bhatara Parameswara (alias Mahisa Wunga Teleng).

Dalam hal ini berita dalam prasasti lebih dapat dipercaya karena diterbitkan secara resmi oleh Kertanagara cucu Bhatara Parameswara sendiri pada tahun 1255 (hanya selisih 33 tahun dari peristiwa 1222).

Dalam Pararaton dikisahkan tentang Anusapati yang mengadu pada ibunya (Ken Dedes), kalau ayahnya bersikap pilih kasih, lebih menyayangi Mahisa Wunga Teleng dan Tohjaya dibanding terhadap dirinya. Ken dedes kemudian menjelaskan kalau Anusapati sesungguhnya bukan anak kandung Ken Arok.

Jika kisah tersebut dipadukan dengan isi naskah Prasasti Mula Malurung, maka dapat diketahui alasan Anusapati cemburu bukanlah sikap pilih kasih Ken Arok, melainkan pengangkatan Mahisa Wunga Teleng sebagai raja bawahan di Kadiri.

Anusapati merasa lebih tua, namun justru Mahisa Wunga Teleng yang dijadikan Yuwaraja setelah kekalahan Kertajaya. Alasan inilah yang lebih dewasa dan masuk akal, yang akhirnya membuat Anusapati tahu siapa ia sebenarnya. Dalam Pararaton dikisahkan Anusapati adalah putra dari Tunggul Ametung dengan Ken Dedes. Ayahnya dibunuh oleh Ken Arok sewaktu dirinya masih berada dalam kandungan. Ken Arok kemudian menikahi Ken dedes dan mengambil alih jabatan Tunggul Ametung sebagai akuwu Tumapel.

Sepeninggal Ken Arok tahun 1247, Anusapati naik takhta. Pemerintahannya dilanda keresahan karena Panji Tohjaya putra Ken Arok dari Ken Umang mengetahui perbuatan Anusapati dalam pembunuhan ayahnya akan membalas dendam . Diketahui pula bahwa otang Batil yang membunuh ayahnya adalah orang suruhan dari Anusapati.

Prabu Anusapati menjadi waspada, Puri tempat tinggal Anusapati pun diberi pengawalan ketat, dan dikelilingi parit dalam.Me skipun demikian, Tohjaya putra Ken Arok dari selir bernama Ken Umang tidak kekurangan akal. Suatu hari ia mengajak Anusapati keluar mengadu ayam dan meminjam keris Empu Gandring. Anusapati menurut tanpa curiga karena hal itu merupakan kegemarannya.

Saat Anusapati asyik menyaksikan adu ayam, Toh Jaya menusuknya dengan keris Mpu Gandring sampai mati. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun saka 1171 (1249 Masehi )

Sepeninggal Anusapati, Tohjaya naik takhta. Namun pemerintahannya hanya berlangsung singkat karena ia kemudian tewas akibat pemberontakan Ranggawuni putra Anusapati. Untuk menghormati arwah Anusapati didirikan Candi di Kidal, di mana ia dipuja sebagai Siwa.

Candi Kidal merupakan tempat Pemujaan Raja Anusapati


Ken Arok

Dalam naskah Nagarakretagama (1365) tidak dijumpai adanya nama Ken Arok. Dalam naskah tersebut pendiri Kerajaan Tumapel disebut sebagai putra Bhatara Girinatha. Konon ia lahir tanpa ibu pada tahun 1182. Pada tahun 1222 Sang Girinathaputra mengalahkan Kertajaya raja Kadiri. Ia kemudian menjadi raja pertama di Tumapel bergelar Sri Ranggah Rajasa. Ibu kota kerajaannya disebut Kutaraja (yang pada tahun 1254 diganti menjadi Singhasari).

Ken A(ng)rok bukan nama, melainkan sebutan pengenal yang berupa gabungan dua unsur. Unsur pertama "ken", semacam gelar kehormatan bagi perempuan dan laki-laki, tetapi bukan karena keterhormatan silsilahnya yang berdarah biru. Gelar kehormatan "ken" diberikan masyarakat pada seseorang karena kemuliaan budinya, sedangkan gelar keterhormatan diberikan atau tidak diberikan masyarakat, dianggap sudah melekat karena pangkat dan asal- usul pada pribadi yang bersangkutan.

Patung Dwarapala diperkirakan sebagai patung penjaga di pintu masuk Kerajaan Singhasari

Ini perlu ditegaskan, agar kita bisa membedakan gelar kehormatan "ken" ini dengan, misalnya, gusti, raden mas. Dari perkawinan Ken Arok dengan Ken Dedes telah melahirkan 4 (empat) orang anak, yaitu

Mahisa Wunga Teleng
Panji Saprang
Agnibhaya
Dewi Rimbu

Ken Arok juga memiliki selir bernama Ken Umang, yang telah memberinya 4 (empat) orang anak pula, yaitu

Tohjaya
Panji Sudatu
Tuan Wergola
Dewi Rambi.

Selain itu, Ken Dedes juga memiliki putra dari Tunggul Ametung yang bernama Anusapati.

Keistimewaaan Ken Arok

Nama Rajasa selain dijumpai dalam kedua naskah di atas, juga dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Nama Ken Arok memang hanya dijumpai dalam Pararaton, sehingga diduga kuat merupakan ciptaan pengarang naskah tersebut sebagai nama asli Rajasa. Arok berasal dari kata rok yang artinya berkelahi. Tokoh Ken Arok memang dikisahkan nakal dan gemar berkelahi. Terlepas dari benar atau tidaknya kisah Ken Arok, dapat ditarik kesimpulan kalau pendiri Kerajaan Tumapel hanya seorang rakyat jelata, namun memiliki keberanian dan kecerdasan di atas rata-rata sehingga mengantarkan dirinya sebagai pembangun suatu wangsa baru yang menggantikan dominasi keturunan Airlangga dalam memerintah tanah Jawa.

Ken Arok dalam Nagarakretagama

Sri Ranggah Rajasa meninggal dunia pada tahun 1227 (selisih 20 tahun dibandingkan berita dalam Pararaton). Untuk memuliakan arwahnya didirikan candi di Kagenengan (sebelah selatan Singhasari), di mana ia dipuja sebagai Siwa, dan di Usana, di mana ia dipuja sebagai Buddha. Sedangkan Ken Dedes yang tidak diketahui tahun meninggalnya, diperkirakan dibuatkan arca sangat indah yang diketemukan di Singosari, yaitu arca Prajnaparamita.

Arca Prajnaparamita

Pembunuhan terhadap Sang Rajasa yang dikisahkan Pararaton mendapat sokongan dari Prasasti Mula Malurung (1255). Disebutkan dalam prasasti itu, nama pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang meninggal di atas takhta kencana. Berita dalam prasasti tersebut menunjukkan kalau kematian Sang Rajasa memang tidak sewajarnya.

Akhir Pemerintahan Ken Arok

Anusapati merasa heran pada sikap Ken Arok yang menganaktirikan dirinya, padahal ia adalah putra tertua. Setelah mendesak ibunya (Ken Dedes), akhirnya ia tahu kalau dirinya memang anak tiri. Bahkan, ia juga tahu kalau ayah kandungnya bernama Tunggul Ametung yang mati dibunuh Ken Arok.

Anusapati berhasil mendapatkan keris Mpu Gandring yang selama ini disimpan Ken Dedes. Ia kemudian menyuruh pembantunya yang berasal dari desa Batil untuk membunuh Ken Arok. Pada hari itu kamis pon wuku Landep tahun saka 1169 Ken Arok tewas ditusuk dari belakang saat sedang makan. Anusapati ganti membunuh pembantunya itu untuk menghilangkan jejak. Peristiwa kematian Ken Arok dalam naskah Pararaton terjadi pada tahun 1247.

Expansi Kerajaan Singosari ke Pulau Bali

Pulau Bali sebelum ditaklukan oleh kerajaan Singhasari adalah wilayah yang merdeka dan raja yang berkuasa di wilayah tersebut merupakan keturunan dari wangsa Warman. Kerajaan Singhasari pada jaman pemerintahan Kertanegara mencapai masa keemasannya. Diantara Raja-Raja Singhasari, Raja Kertanagara yang pertama tama melepaskan pandangan ke luar Jawa.

Raja Kertanagara ingin mendobrak politik tradisional yang hanya berkisar pada Janggala-Panjalu dan ingin mempunyai kerajaan yang lebih luas dan lebih besar dari kedua wilayah tersebut yang berupakan warisan dari Raja Erlangga. Arca Bhairawa perwujudan Raja Kertanegara dari Candi Singosari kini masih tersimpan di Tropen Museum Leiden Belanda Wilayah Bali yang berdekatan dengan kerajaan Singhasari menjadi salah satu wilayah yang harus dikuasai untuk mewujudkan cicta cita dari Raja Kertanegara.

Oleh karena itu setelah exspedisi pamalayu berhasil dengan gemilang maka ekspedisi ke Pulau Bali menjadi target berikutnya. Maka pada tahun 1284 Masehi dikirimlah sejumlah pasukan dibawah pimpinan :

Ki Kebo Bungalan
Ki Kebo Anabrang
Ki Patih Nengah
Jaran Waha
Ki Arya Sidi
Ki Amarajaya

Ekspedisi Raja Kerta Negara tersebut mendarat di pantai timur Buleleng, tepatnya di Desa Kubutambahan. Sehingga, ada Pura Pule Kerta Negara di tempat tersebut. Untuk menaklukkan Pulau Bali. Di Bali pasukan tersebut berhasil mengalahkan Raja Bali yang bergelar Paduka Batara Parameswara Seri Hyangning Hyang Adidewa Lancana dan dibawa ke Kerajaan Singhasari sebagai tawanan perang.

Berkat keberhasilan menundukkan Pulau Bali, Ki Kebo Bungalan yang pada tahun 1275 Masehi juga pernah diutus ke Jambi dalam Exspedisi Pamalayu, kini diangkat oleh Raja Kertanegara sebagai wakil pemerintahan Singhasari di Pulau Bali dengan gelar Rakrian Demung Sasabungalan. Ki Kebo Bungalan pada waktu memerintah Pulau Bali sudah lanjut usia sehingga untuk melaksanakan tugas pemerintahan sehari harinya diserahkan kepada Putranya yang bernama Ki Kebo Parud.

Keberadaan Kebo Parud sebagai penguasa di bali dibuktikan dengan sebuah prasasti yang dikeluarkan olek Kebo Parud yang berangka tahun caka 1218 Caka yang berisi persoalan tentang desa kedisan “ Mewang Ida Raja Patih meka kasir Kebo Parud “

Berdasarkan nama nama patih dan berdasarkan isi prasasti tersebut, ternyata patih itu adalah pegawai Negara yag berasal dari Jawa Timur, nama semacam itu sering dijumpai dalam kerajaan Singhasari. Ada kemungkinan bahwa patih yang dimaksud bertugas sebagai gubernur atau semacamnya yang mewakili pemerintahan Singhasari di Bali.

Selanjutnya terdapat prasasti lainnya yang menyebutkan nama “Ida Ken Kanuruhan” dan yang istimewa pula prasasti tersebut tidak memakai sapatha sebagaimana yang sering dijumpai dalam prasasti prasasti di Bali pada umumnya. Kebo Parud juga mengeluarkan prasasti yang berangka tahun Caka 1222 yang menguraikan tentang desa Sukawana yang terletak diperbatasan Min Balingkang. Dalam prasasri tersebut terdapat kata-kata “Mpukwing Dharma Anjar, Mpukwing istana radja, Mpukwing dewa istana” Gelar para menteri diubah menjadi Jro atau diduga Arya sebagai contoh Ida Raja Sang Arya = Ida Sang Arya Aji Kara.

Arca Bhairawa perwujudan Raja Kertanegara sebagai seorang biksu yang gundul kini masih tersimpan di Tropen Museum Leiden Belanda Agama yang yang dianut oleh Kebo Parud adalah Wajrayana yaitu suatu aliran Tantrisme dari agama Budha.

Di Singhasari pada saat tersebut sedang berkembang dan malahan menjadi pusat aliran Wajrayana. Aliran ini sangat condong kle dalam ilmu sihir atau ilmu gaib yang sebagai pemimpinnya adalah rajanya sendiri yaitu Raja Kertanegara. Demikianlah di peseteran Singhasari ditemukan arca Kertanegara sebagai seorang biksu yang gundul, disamping itu juga terdapat arca Bhairawa, dimana Raja Kertanegra sering melakukan upacara upacara yang berakitan dengan aliran yang dianutnya.

Pada jaman pemerintahan Kebo Parud di Bali terdapat arca Bhairawa didaerah Pejeng yang bentuknya mirip dengan arca Bhairawa yang terdapat di Singhasari. Demikianlah ada kemungkinan besar bahwa latihan latihan Wajrayana juga dilakukan oleh wakil pemerintahan Singhasari di Pulau Bali. Para pendeta Budha kemudian mendirikan sebuah biara (asrama) di Bedaulu didekat biara Ratna Kunjarapada yang diketahui sebagai sebuah asrama bagi para pendeta Ciwa.

Hal tersebut sesuai yang terdapat dalam buku Nagarakertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca. “ Sang Budhadhyaksa muwing Bedaulu Bedaha luwing Gajah ran pramada wruh “ Artinya ada pendeta Budha besar yang berdiam di Bedaulu, di luwing Gajah yang tidak pernah pramada (angkara). Mungkin yang dimaksud dengan luwing Gajah adalah tempat disekitar air Gajah yang seperti diketahui daerah air Gajah adalah daerah disekitar sungai Patanu tempat didirikannya asrama asrama tersebut.

Dalam hal ini Goa Gajah termasuk dalam lingkungan Dharma Anta Kunjarapada. Para pendeta Ciwa tentu merasa tidak senang melihat perkembangan aliran Wajrayana di bali sehingga timbullah persaingan diantara mereka. Rakyat Bali pada umumnya memihak kepada pendeta Ciwa yang berarti mereka tetap memuja Maharesi Agatya Pemerintahan Ki Kebo Parud (1296-1324 M)

Pada tahun 1293 terjadi perubahan kekuasaan di Jawa Timur dimana Kerajaan Singhasari mengalami keruntuhan dan Raja Kertanegara tewas akibat pemberontakan Jayakatwang. Raden Wijaya yang merupakan menantu dari Raja Kertanegara berhasil menumpas pembrontakan tersebut dan mendirikan Kerajaan Majapahit.

Karena Kerajaan Singhasari telah mengalami keruntuhan maka Majapahit sebagai pengganti kerajaan Singhasari mengambil alih seluruh daerah kekuasaan kerajaan Singhasari termasuk Pulau Bali. Pada tahun 1296 M Sri Rajasa Jaya Wardana sebagai Raja Majapahit yang pertama, menunjuk Ki Kebo Parud sebagai wakil pemerintahannya di Pulau Bali dengan gelar Raja Patih.

Dalam melaksanakan pemerintahannya Ki Kebo Parud mengangkat beberapa senapati dan pejabat tinggi lainnya untuk membantunya dalam pemerintahanya dan mengganti beberapa pejabat penting pada waktu pemerintahan Raja Adidewa Lancana dengan pejabat baru yang berasal dari Jawa Timur. Pejabat penting yang diganti diantaranya :

Senapati Weresanten
Mpu Abdaraja
Senapati Balembunut Dyaksa
Mpu Tohujar diganti
Senapati Danda
Mpu Arusningrat
Senapati Dinganga
Mpu Suradikara
Senapati Kuturan
Mpu Angambara
Para pendeta Siwa diantaranya Dang Acarya Harimurti, Pendeta di Sthanaraja, Dang Acarya Haridewa, Pendeta di Amurnaraja, Dang Acarya Madyagra, pendeta di Katubrih, Dang Acarya Satyangsa, Pendeta di Makarum
dan Dang Acarya Karnikangsa sebagai samegat juru – wadwa ·
Para Pendeta Budha diantaranya Dang Upadyaya Atmaja, pendeta di Nalanda dan Dang Upadyana Budhadnyana, pendeta Kutihanyar dan Tiramangsa sebagai Samegar Mangirengiren
Samegat Juru Tulis kehakiman diantaranya Tarayaruhun, Niraweruh dan Namapinda
Samegat Manyumbul : Nayalor
Samegat Pituhanya : Werdeng Pramohab
Samegat Caksukaranapuranya : Digaja
Samegat Karanapuranya : Sidhamukti

Sebagai gantinya Ki Kebo Parud kemudian menunjuk beberapa pejabat penting diantaranya :

Senapati Danda : Ki Gagak Semeningrat alias Ki Gagak Suluhingrat
Senapati Sarbhwa : Ki Dangdang sangka
Senapati Balembunut : Ku Kuda Makara
Ken Demung : Ki Gajah Pamugeran
Ken Rangga : Ki Dangdang Bangbungalan

Selain itu beliau juga mengakat beberapa Wadwa-haji yang ditempatkan di beberapa tempat di Bali diantaranya :

Wadwa-haji di Panji :Ki Sangkarinsing dan Ki Ranggahwalik
Wadwa-haji di Sarwa-patih Ki Jadang-mider, Ki Bimapaksa dan Ki Gajah Sereng
Wadwa-haji di Kurtija : Ki Banyak Endah dan Ki Panggah-parya ·
Wadwa-haji di Jingrana : Ki Kidang-semu ·
Wadwa-haji di Guleng dan Perang : Ki Binajaga Beberapa kementrian atau kesenapatian yang belum ada pejabatnya dibentuk diantaranya Senapati Dinganga, Senapati Manyiringin dan Senapati Beladyaksa.

Perutusan Pendeta Siwa dan Budha pun dibentuk disesuaikan dengan peraturan yang terdahulu, namun pejabatnya belum diresmikan diantaranya pendeta Siwa di Dharmahanyar, di Astanaraja, di Dewastana dan di Binor sedangkan perutusan pendeta Budhanya di Burwan, di Puwanegara, di Kutrihanyar dan di Ajinegara, juga dilantik Tri-samegat atau tiga pejabat yang sangat berkuasa di Istana.

PEMERINTAHAN DIKEMBALIKAN KEPADA WANGSA WARMAN

Demikianlah pergantian pejabat tinggi kerajaan yang dilakukan oleh Ki Kebo Parud sebagai wakil pemerintahan Kerajaan Majapahit di Pulau Bali. Pemerintahan Raja Patih Kebo Parud di Bali hanya bersifat sementara saja. Beberapa tahun kemudian, oleh karena keadaan Bali sudah aman maka pada tahun 1324 Masehi, atas perintah Jayanegara sebagai Raja Majapahit yang kedua, pemerintahan Bali dikembalikan lagi kepada keturunan Wangsa Warma karena mengingat bahwa Pulau Bali sejak dari dulu diperintah oleh raja raja keturunan wangsa Warman.

Pemerintahan Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa (1324-1328 M) Adalah Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa yang bergelar Sri Paduka Maharaja Bhatara Mahaguru yang ditunjuk oleh Raja Jayanegara sebagai wakil Kerajaan Majapahit di Pulau Bali. Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa adalah keturunan dari Bhatara Guru Sri Adi Kunti-Ketana yang memerintah Bali pada tahun 1204 M. Raja ini adalah keturunan dari raja dua sejoli Sri Gunapriya Dharmapatni dan suaminya Sri Dharma Udayana Warmadewa yang memerintah tahun 989 s/d 1001 M di Kerajaan Bedulu.

Kerajaan Bedulu diperkirakan terletak diantara desa Bedulu dan Pejeng (Gianyar) dan bekas pemandian Raja kini disebut sebagai Pura Arjuna Matapa. Pemerintahan Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa adalah wakil pemerintahan Kerajaan Majapahit di Bali sehingga untuk jabatan penting seperti Senapati beliau mengakat orang – orang dari Majapahit disamping orang orang dari Bali sendiri.

Senapati yang diangkat beliau diantaranya : ·

Kidalang Camok diangkat menjadi Senapati Kuturan
Ki Candi Lengis diangkat menjadi Senapati Sarbwa
Ki Jagatrang diangkat menjadi Senapati Weresanten
Ki Pindamacan diangkat menjadi Senapati Balem bunut
Ki Gagak Sumeningrat diangkat menjadi Senapati Baladyaksa
Ki Kuda Makara / Ki Kuda Langkat Langkat diangkat menjadi Senapati Danda ·
Ki Lembu Lateng diangkat menjadi Senapati Manyiringan ·
Ki Gagak Lepas diangkat menjadi Senapati Dinganga
Mantri irah Prana diangkat menjadi Sekretaris Kehakiman I
Mantri Wadyawadana diangkat menjadi Sekretaris Kehakiman II
Ki Panji Singaraja diangkat menjadi Sekretaris Kehakiman III

Perutusan pendeta Siwanya adalah :

Paduka Raja Guru diangkat menjadi pendeta besar yang berkuasa di Dharmahanyar II.
Paduka Rajadyaksa diangkat menjadi pendeta besar yang berkuasa di Air Gajah sekarang di Goa Gajah.
Paduka Raja Manggala diangkat menjadi pendeta besar di Trinayana.

Perutusan pendeta Budhanya adalah :

Dang Upadyaya Pujayanti diangkat menjadi pendeta besar di Biharanasi
Dang Upadyaya Karmangga diangkat menjadi pendeta besar di Puranagara.

Demikianlah susunan pejabat kerajaan yang diangkat oleh beliau. Dalam pemerintahannya beliau juga membuat undang undang desa yang ditata diatas perunggu dan isinyapun kebanyakan disesuaikan dengan prasasti-prasasti yang telah ada. Segala keputusan beliau didasarkan atas permusyawaratan dan tempat pengambilan keputusan biasanya dilakukan di balai-pendapa yang ada di istana.

Para pendeta Siwa, Budha, Resi dan Mahabrahmana yang ada di desa desa sangat dihargai oleh beliau, bahkan mereka diikutsertakan dalam sidang disamping pejabat pejabat resmi di Kerajaan. Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa dalam melaksanakan sehari hari tugas pemerintahannya telah mengangkat putranya sendiri yang bernama Sri Trunajaya sebagai raja muda. Akan tetapi entah mengapa raja muda ini belum bersedia untuk dicalonkan menjadi raja.

Sebagai raja Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa sangat bijaksana dalam menjalankan pemerintahan, Beliau sangat taat melakukan upacara di pura-pura, terlebih pemujaan terhadap leluhurnya. Dari itulah beliau membuat peraturan-peraturan adat untuk upacara Paduka Bhatara almarhum yang dicandikan di Candi Manik yang upacaranya jatuh pada setiap bulan purnama dalam bulan Cetra (Maret).

Bangunan bangunan suci banyak didirikan pada jaman pemerintahan beliau, sebuah taman yang sangat indah telah dibangun disebelah selatan desa Bangli. Kolamnya dihiasi patung “Makaradewi” sedangkan di sebelah selatannya dibuat bangunan suci (Pemerajan) untuk pemujaan beluiau yang disebut Gua Merku. Kini komplek taman tersebut disebut Taman Bali.

Pemerintahan Sri Walajaya Kertaningrat (1328-1337 M) Pada tahun 1328 Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa mangkat dimana perisitiwa tersebut tahunnya bersamaan dengan terbunuhnya Jayanegara raja Majapahit yang ke dua oleh tabib Ra Tanca. Setelah Sri Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa wafat maka putranya yang bernama Trunajaya menggantikan kedudukan beliau sebagai raja dengan memakai gelar Sri Walajaya Kertaningrat hal tersebut tercantum dalam prasasti yang tersimpan di desa Selembung (Karangasem).

Dalam prasasti itu juga disebutkan Pura Hyang Api atau Agni Sala tertulis nama Maharesi Agastya yang menyelesaikan perkara desa Selembung. Adapun pejabat pejabat pemerintahan pada masa pemerintahan ayah beliau masih tetap dipertahankan kecuali jabatan untuk Senapati Balembunut diganti sebanyak 2 kali.

Pada tahun 1324 M jabatan tersebut dipegang oleh Ki Pinda Macan sedangkan tahun 1325 diganti oleh Ki Gentur sampai akhirnya dipegang oleh Ki Bondantuhed. Pada pemerintahan beliau, desa Selumbung dibebaskan dari pembayaran pajak dan rodi karena desa ini memelihara sebuah candi yang ada di Linggabawana. kemungkinan candi tersebut adalah merupakan tempat abu ayahanda beliau yaitu Dharma Uttungga-dewa-Warmadewa dimakamkan.

Keadaan pulau Bali pada masa pemerintahan belia sangat tenang dan aman. Pemerintahan Sri Astasura Ratna Bumi Banten (1337- Pada tahun 1337 M raja Sri Walajaya Kertaningrat mangkat, sehingga untuk menggantikan kedudukan beliau adalah saudaranya sendiri yang bernama Sri Astasura Ratna Bumi Banten hal tersebut tercantum dalam prasasti di desa Langgahan.

Mengenai Raja tersebut ada berbagai pendapat, ada yang berpendapat bahwa raja itulah yang dimaksud dengan nama Mayadanawa yang dikalahkan oleh Batara Indra, kemudian ada pendapat lainnya yang mengatakan bahwa raja tersebut seorang raja yang berbudi jahat.

Berdasarkan arti kata Sri Astasura Ratna Bumi Banten mengandung makna seorang putra para dewa yang menjelma di pulau Bali. · Asta = delapan · Sura = dewa · Ratna = permata · Bumi Banten = tanah Bali/ wilayah Bali

Dengan kata lain permata dari delapan dewa yang ada di Pulau Bali Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten menganut agama Ciwa seperti yang tercantum dalam prasasti “ Sapatha indah ta kita bhatara punta hyang Angasti Maharesi, purwa, daksina, pascima, uttara, agneya, neriti, byawya, aisanya, urdha-adha, rawi, caci, ksiti jalapawana, ahoratri, hutasana, sandyadwaya, yaksa basawa saca, pretasura garuda gandharwa, graham naksatra, kinnara-raksasa pigana, catwari lokapala, Indra Yama waruna kuwera, mwang putradwata, nandiswara mahakala, kita prasidha rumaksa bhumi hyang tara Bali “

Dalam menjalankan pemerintahannya beliau membentuk beberapa kesenapatian yang baru. Beliau mengangkat seorang mangkubumi yang gagah perkasa bernama Ki Pasunggrigis, yang tinggal di desa Tengkulak dekat istana Bedahulu di mana raja Astasura bersemayam.

Sebagai pembantunya diangkat Ki Kebo Iwa alias Kebo Taruna yang tinggal di Desa Belahbatuh. Para menterinya di sebutkan antara laian :

Krian Girikmana tinggal di Desa Loring Giri Ularan (Buleleng)
Krian Tambiak tinggal di desa Jimbaran
Krian Tunjung Tutur tinggal di desa Tenganan
Krian Buahan tinggal di desa Batur
Krian Tunjung Biru di desa Tianyar
Krian Kopang tinggal di desa Seraya dan Walungsari tinggal di desa Taro. 7
Krian Kalagemet di Desa Tangkas
Krian Buahan di Batur
Krian Walung Singkal di Desa Taro

Dikisahkan di Bali adalah raja bernama Sri Gajah Waktera yang dikatakan sebagai seorang pemberani serta sangat sakti. Disebabkan karena merasa diri sakti, maka keluarlah sifat angkara murkanya, tidak sekali-kali merasa takut kepada siapapun, walau kepada para dewa sekalipun.

Sri Gajah Waktera mempunyai sejumlah pendamping yang semuanya memiliki kesaktian, kebal serta juga bijaksana yakni : Mahapatih Ki Pasung Gerigis, bertempat tinggal di Tengkulak, Patih Kebo Iwa bertempat di Blahbatuh, keturunan Kyai Karang Buncing, Demung I Udug Basur, Tumenggung Ki Kala Gemet, Menteri Girikmana - Ularan berdiam di Denbukit, Ki Tunjung Tutur di Tianyar, Ki Tunjung Biru berdiam di Tenganan, Ki Buan di Batur, Ki Tambiak berdiam di Jimbaran, Ki Kopang di Seraya, Ki Kalung Singkal bertempat tinggal di Taro.

ARTI KATA BEDAHULU

Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten ternyata tidak mau kalah wibawa dan menyatakan tidak bersedia tunduk dibawah kekuasaan Majapahit, meskipun beliau adalah keturunan Majapahit. Karena itu beliau dijuluki Raja Bedahulu, “Beda” artinya berbeda (pendapat) dan “Hulu” berarti atasan. Tegasnya raja ini melepaskan diri dan tidak mau tunduk dibawah kekuasaan Majapahit sebagai atasan yang dulu mengangkatnya.

Sikap dan prilaku Raja ini didengar oleh Ratu Majapahit karena itu Ratu Tribhuwana Tunggadewi menjadi marah besar sehingga beliau merencanakan untuk mengirim pasukan besar ke Bali dibawah pimpinan Patih Gajah Mada.

Untuk lebih jelasnya bahwa Raja Bali diangkat oleh Singhasari dan Majapahit dapat diuraikan sebagai berikut : Setelah akhir pemerintahan Raja Kembar Mahasora dan Mahasori atau yang lebih dikenal dengan Raja Masula Masuli yang menjadi Raja Bali adalah Sri Hyang Ning Hyang Adidewa Lencana (tahun 1260 -1286 M)

Pada masa pemerintahan raja ini Bali diserang dan dikuasai oleh Kerajaan Singhasari dibawah kepemimpinan Raja Kertanagara. Raja Adidewa Lancana kemudian ditangkap dan dibawa ke Singhasari tahun 1286 M. Sejak itulah Bali menjadi keuasaan kerajaan Singhasari. Dengan dikuasainya Bali oleh Singhasari maka pengangkatan raja raja Bali selanjutnya dilakukan oleh Raja Singhasari.

Namun Demikian karena Kerajaan Singhasari runtuh akibat Penyerangan dari Prabu Jayakatwang yang menyebabkan Prabu Kertanagara Gugur maka selanjutnya pengangkatan raja Bali dilakukan oleh Majapahit yang merupakan penerus dari kerajaan Singhasari. Raja Bali pertama yang diangkat oleh Prabu Kertanagara adalah Ki Kryan Demung yang berasal dari Jawa timur yang kemudian digantikan oleh putranya Ki Kebo Parud.

Berikutnya yang menjadi raja Bali adalah Sri Paduka Maharaja Batara Mahaguru ( 1324-1328 M). Beliau diangkat oleh Raja Majapahit yaitu Prabu Jayanegara/ Kalagemet. Yang menggantikan beliau adalah putranya sendiri yaitu Sri Tarunajaya dengan gelar Sri Walajaya Kertaningrat (1328-1337 M). Sesudah beliau meninggal dunia, maka digantikan oleh adiknya yaitu Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang berarti Raja yang berkuasa (1337-1343 M)

sb:aa lanang dawan [wisata purbakala]

Candi Singosari

Salah satu peninggalan bersejarah di Malang adalah candi Singosari. Dikenal juga dengan candi Kendedes, dibangun untuk menghormati Raja Kertanegara, raja terakhir kerajaan Singasari yang meninggal tahun 1292.

Candi Singhasari atau Candi Singasari atau Candi Singosari adalah candi Hindu – Buddha peninggalan bersejarah Kerajaan Singhasari yang berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia.

Cara pembuatan candi Singhasari ini dengan sistem menumpuk batu andhesit hingga ketinggian tertentu selanjutnya diteruskan dengan mengukir dari atas baru turun ke bawah. (Bukan seperti membangun rumah seperti saat ini).
Berdasarkan penyebutannya pada Kitab Negarakertagama pupuh 37:7 dan 38:3 serta Prasasti Gajah Mada bertanggal 1351 M di halaman komplek candi, candi ini merupakan tempat “pendharmaan” bagi raja Singasari terakhir, Sang Kertanegara, yang mangkat pada tahun 1292 akibat istana diserang tentara Gelang-gelang yang dipimpin oleh Jayakatwang. Kuat dugaan, candi ini tidak pernah selesai dibangun.

Candi Singasari terletak di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, (sekitar 10km dari Kota Malang, g jauh kan??) terletak pada lembah di antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna di ketinggian 512m dari permukaan laut.

Candi Singosari Didirikan tahun 1300 bersamaan dengan diselenggarakannya upacara shrada ditempat ini. Ciri khas candi singasari adalah dua arca raksasa Dwarapala, yang diyakini sebagai penjaga istana.

Komplek percandian menempati areal 200 m × 400 m dan terdiri dari beberapa candi. Di sisi barat laut komplek terdapat sepasang arca raksasa besar (tinggi hampir 4m, disebut dwarapala) dan posisi Gada menghadap ke bawah, ini menunjukkan meskipun penjaganya raksasa tetapi masih ada rasa kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup dan ungkapan selamat datang bagi semuanya. Dan posisi arca ini hanya ada di Singhasari, tidak ada di tempat ataupun kerajaan lainnya. Dan di dekatnya arca Dwarapala terdapat alun-alun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di komplek pusat kerajaan.

Letak candi Singhasari yang dekat dengan kedua arca dwarapala menjadi menarik ketika dikaitkan dengan ajaran Siwa yang mengatakan bahwa dewa Siwa bersemayam di puncak Kailasa dalam wujud lingga, batas Timur terdapat gerbang dengan Ganesha atau Ganapati sebagai penjaganya, gerbang Barat dijaga oleh Kala dan Amungkala, gerbang Selatan dijaga oleh Resi Agastya, gerbang Utara dijaga oleh Batari Gori. Karena letak candi Singhasari yang sangat dekat dengan kedua arca tersebut yang terdapat pada jalan menuju ke Gunung Arjuna, penggunaan candi ini diperkirakan tidak terlepas dari keberadaan gunung Arjuna dan para pertapa yang bersemayam di puncak gunung ini pada waktu itu.

Bangunan candi utama dibuat dari batu andesit, menghadap ke barat, berdiri pada alas bujursangkar berukuran 14 m × 14 m dan tinggi candi 15 m. Candi ini kaya akan ornamen ukiran, arca, dan relief. Di dalam ruang utama terdapat lingga dan yoni. Terdapat pula bilik-bilik lain: di utara (dulu berisi arca Durga yang sudah hilang), timur yang dulu berisi arca Ganesha, serta sisi selatan yang berisi arca Siwa-Guru (Resi Agastya). Di komplek candi ini juga berdiri arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan, yang sekarang ditempatkan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Arca-arca lain berada di Institut Tropika Kerajaan, Leiden, Belanda, kecuali arca Agastya.

oleh: mas hidayat [wisata purbakala]