let's go


Monday, April 09, 2012

Candi Badut Malang, Jawa timur

Candi Badut secara administratif terletak di Dusun Doro, Desa Karangwidoro, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur dan berada di Kaki gunung Kawi dengan ketinggian 508 meter di atas permukaan laut

Candi ini menempati tanah halaman, seluas 2.808 M2 di kelilingi oleh gunung sebelah barat gunung Arjuna, utara pegunungan Tengger, timur gunung Semeru dan selatan gunung Kawi.

Candi ini dahulu dikelilingi pagar tembok yang sekarang tinggal sisa- sisa pondasinya.Bangunan Candi terbuat dari batu Andesit, berdenah empat persegi panjang berukuran 17,27 m X 14,04 m dengan tinggi 8 m, menghadap ke barat. Secara vertical Arsitekturnya terdiri dari bagian kaki, tubuh dan atap.

Bagian kakinya terdiri dari bingkai bawah yang berupa pelipit dan badan kaki berupa bidang rata, dibagian depan terdapat tangga naik ke bilik candi, sebelum masuk ke bilik candi terdapat Selosan Pradaksinapatha ( tempat mengelilingi candi mulai dari arah kiri ke kanan/ mengkanankan candi ).

Bagian tubuh candi tampak tambun, pintu bilik berpenampil berhias Kalamakara yang merupakan gaya bangunan Jawa tengah.Pada tangga sebelah selatan terdapat Kinara Kinari. Pada ketiga sisinya terdapat relung berbingkai Kala-Makara.

Relung sisi utara berisi Arca Durga, sebelah selatan Arca Agastya dan sebelah timur harusnya Arca Ganesha tetapi sudah tidak ada.Di Kanan kiri pintu masuk juga terdapat relung kecil berisi Mahakala dan Nandiswara, yang disamping relung terdapat hiasan motif bunga.

Di dalam bilik candi terdapat Lingga dan Yoni.Pada pemugaran th 1925 di temukan Peripih diantara reruntuhan dinding luar bilik candi bagian belakang.

Atap candi saat ini telah rusak, berdasarkan kontruksi yang dimuat dalam OV ( Oudidkendrge Verstag) th.1929 tampak atapnya tingkat dua serupa dengan tubuh candi semakin mengecil ke atas dengan puncak bentuk matna. Hiasan pada bagian atap berupa antefik.

Di depan candi utama terdapat tiga bekas alas kaki, mungkin alas candi Perwara. Dengan adanya Arca Durga, Agastya dan Lingga Yoni maka candi ini bersifat agama Hindu.

Keberadaan candi ini dihubungkan dengan prasasti Dinoyo ber-angka th 682c (28 Nopember 760 M), jadi candi ini didirikan pada th.760 masehi dan merupakan candi tertua di Jawa Timur.

Candi ini ditemukan oleh EW.Mauren Brechter tahun 1921 M di tengah sawahdalam keadaan rusak, ditumbuhai pohon dan tertutup tanah, kemudian candi ini di pugar pada th. 1925- 1926 dibawah pimpinan De Hoan. Selanjutnya di pugar pada th. 1990/1991 s/d 1992/1993 oleh Depdikbud melalui Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur.



sumber: komunitas sejarah & budaya

Prajna Paramita Ternyata Bukan Ken Dedes

Diskusi tentang sosok ibu suri kerajaan Majapahit, Gayatri Rajapatni, yang menghadirkan sejarawan dan diplomat University of British Columbia, Kanada, Prof Paul Drake di kampus Unibversitas Negeri Malang (UM), Senin (2/4/2012), memunculkan tafsir terbaru, bahwa patung indah Prajna Paramita asal Singosari, Malang, sebenarnya bukan perwujudan Ken Dedes seperti selama ini dipahami.




Patung itu jika ditilik gaya artistiknya bisa dibuktikan berasal dari gaya era Majapahit (Majapahit style), dan diyakini sebagai perwujudan Gayatri Rajapatni.

Paul Drake yang mengantarkan bukunya Gayatri Rajapatni, Perempuan di Balik Kejayaan Majpahit (Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2012) yang disunting sejarawan Universitas Indonesia Manneke Budiman, bahkan menyejajarkan Gayatri sekaliber dengan Cleopatra, seorang perempuan kuat di Mesir yang bahkan membuat Caesar, kaisar Romawi tunduk.

Gayatri seorang perempuan yang menjadi pemikir dan dalang sejumlah peristiwa, termasuk perekrutan Mahapatih Gajah Mada, bahkan patut diduga ada di balik pembunuhan raja sah Majapahit Jayanegara (1309-1322).

Patut diyakini Gayatri adalah think tank di balik masa paling cemerlang dalam sejarah Nusantara, yakni Majapahit era Tribhuwana Tunggadewi dan Hayam Wuruk yang dibantu Gajah Mada.

Earl Drake melakukan riset sejarah Majapahit menurutnya secara sambil lalu selama sekitar 20 tahun, seraya menjalani tugasnya di Asia sebagai diplomat saat bertugas di Kuala Lumpur dan Jakarta, terutama saat menjadi Duta Besar Kanada di Indonesia. Earl Drake kelahiran 1928, mengakui terutama ia tertarik karena terpesona oleh wujud fisik (patung) Prajna Paramita yang sensual dengan puting payudaranya itu.

Patung itu pada masa kolonial disimpan di Leiden, Belanda, dari asalnya di Singosari, dan kemudian dikembalikan ke Indonesia lalu kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Setiap kali dibawa berpameran keliling dunia, termasuk di Paris dan Tokyo untuk pameran tema Asia, Prajna Paramita senantiasa menjadi pusat perhatian utama pengunjung pameran berkebangsaan barat. Perwujudan sikap samadhi pendeta perempuan itu demikian mempesona dengan wajah sendunya.

"Saya berkali-kali bertemu Prajna Paramita dan saya bertekad mempelajarinya," katanya.

Sejarawan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Negeri Malang (UM) Deni Yudo Wahyudi yang menjadi pembanding diskusi tentang Gayatri ini, Senin (2/4) mengaku, ia sebagai sejarawan dan umumnya masyarakat masih menganggap Prajna Paramita sebagai Ken Dedes, namun setelah membaca buku Earl Drake, ia membangun keyakinan berbeda, bahwa patung itu memang Gayatri.

Deni menjelaskan, gaya artistik patung Prajna Paramita itu diakuinya baru ia sadari sekarang. Patung itu duduk di atas teratai yang berada di luar vas. Itu sudah diketahui sejarawan, merupakan ciri patung Majapahit. Gayatri hidup pada jarak sekitar seratus tahun setelah era Ken Dedes, istri Ken Arok, Raja Singosari.

Deni merujuk pada kajian sejarawan UI Agus Aris Munandar dalam buku Aksamala: Untaian Persembahan untuk Ibunda Prof Dr Edi Sedyawati (2003) dan Rahardjo S (2002) Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno yang menunjuk lokasi Prajna Paramita yang berasal dari kompleks Candi Singosari (di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, sekarang), justru pas jika diidentikkan dengan Gayatri.

Sebab, pada era Ken Dedes, lokasi Kerajaan Singosari bukan di Singosari, melainkan di lokasi yang masih diperdebatkan di antara spekulasinya Gunung Buring sekarang (sekitar 20 km barat Kota Malang).

"Apakah Prajna Paramita itu Ken Dedes atau Gayatri, memang sudah lama jadi perdebatan. Namun, publik selama ini memahami bahwa Prajna Pramita adalah Ken Dedes," ungkap Deni.

Agus Arismunandar bisa dibaca dalam bukunya, kata Deni, bahwa Gayatri setelah meninggal dibuatkan arca Prajna Paramita dan didharmakan di Prajnaparamitapuri (suatu tempat) di Bhayalangu. Ini bisa ditafsirkan merujuk pada Kecamatan Boyolangu di Kabupaten Tulungagung masa kini.

Namun, sumber teks itu, Negarakertagama sebagai sumber utama sejarah Majapahit menyebut adanya kata juga dalam puisinya, yang dapat ditafsirkan ada dua Prajna Paramita. Sehingga, selain di Boyolangu, satunya ada di Singosari ini. Itu menjadikan tafsir, bahwa patung di Singosari adalah Gayatri, bukan Ken Dedes.

Namun, Prof Paul Drake yakin, ini adalah Gayatri, istri Raden Wijaya yang mengasuh Gajah Mada dan Hayam Wuruk pada masa kanak-kanak, dan dengan demikian merupakan pemilik cetak biru masa keemasan Majapahit.

malang.kompas.com 02-04-12

Saturday, April 07, 2012

Anusapati

Anusapati dalam Pararaton

Penaklukan Kadiri oleh Sang Rajasa (dalam Pararaton disebut Ken Arok) tahun 1222. Kadiri kemudian menjadi daerah bawahan menurut Prasasti Mula Malurung yang menyebutkan kalau raja bawahan di Kadiri adalah Bhatara Parameswara (alias Mahisa Wunga Teleng).

Dalam hal ini berita dalam prasasti lebih dapat dipercaya karena diterbitkan secara resmi oleh Kertanagara cucu Bhatara Parameswara sendiri pada tahun 1255 (hanya selisih 33 tahun dari peristiwa 1222).

Dalam Pararaton dikisahkan tentang Anusapati yang mengadu pada ibunya (Ken Dedes), kalau ayahnya bersikap pilih kasih, lebih menyayangi Mahisa Wunga Teleng dan Tohjaya dibanding terhadap dirinya. Ken dedes kemudian menjelaskan kalau Anusapati sesungguhnya bukan anak kandung Ken Arok.

Jika kisah tersebut dipadukan dengan isi naskah Prasasti Mula Malurung, maka dapat diketahui alasan Anusapati cemburu bukanlah sikap pilih kasih Ken Arok, melainkan pengangkatan Mahisa Wunga Teleng sebagai raja bawahan di Kadiri.

Anusapati merasa lebih tua, namun justru Mahisa Wunga Teleng yang dijadikan Yuwaraja setelah kekalahan Kertajaya. Alasan inilah yang lebih dewasa dan masuk akal, yang akhirnya membuat Anusapati tahu siapa ia sebenarnya. Dalam Pararaton dikisahkan Anusapati adalah putra dari Tunggul Ametung dengan Ken Dedes. Ayahnya dibunuh oleh Ken Arok sewaktu dirinya masih berada dalam kandungan. Ken Arok kemudian menikahi Ken dedes dan mengambil alih jabatan Tunggul Ametung sebagai akuwu Tumapel.

Sepeninggal Ken Arok tahun 1247, Anusapati naik takhta. Pemerintahannya dilanda keresahan karena Panji Tohjaya putra Ken Arok dari Ken Umang mengetahui perbuatan Anusapati dalam pembunuhan ayahnya akan membalas dendam . Diketahui pula bahwa otang Batil yang membunuh ayahnya adalah orang suruhan dari Anusapati.

Prabu Anusapati menjadi waspada, Puri tempat tinggal Anusapati pun diberi pengawalan ketat, dan dikelilingi parit dalam.Me skipun demikian, Tohjaya putra Ken Arok dari selir bernama Ken Umang tidak kekurangan akal. Suatu hari ia mengajak Anusapati keluar mengadu ayam dan meminjam keris Empu Gandring. Anusapati menurut tanpa curiga karena hal itu merupakan kegemarannya.

Saat Anusapati asyik menyaksikan adu ayam, Toh Jaya menusuknya dengan keris Mpu Gandring sampai mati. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun saka 1171 (1249 Masehi )

Sepeninggal Anusapati, Tohjaya naik takhta. Namun pemerintahannya hanya berlangsung singkat karena ia kemudian tewas akibat pemberontakan Ranggawuni putra Anusapati. Untuk menghormati arwah Anusapati didirikan Candi di Kidal, di mana ia dipuja sebagai Siwa.

Candi Kidal merupakan tempat Pemujaan Raja Anusapati


Ken Arok

Dalam naskah Nagarakretagama (1365) tidak dijumpai adanya nama Ken Arok. Dalam naskah tersebut pendiri Kerajaan Tumapel disebut sebagai putra Bhatara Girinatha. Konon ia lahir tanpa ibu pada tahun 1182. Pada tahun 1222 Sang Girinathaputra mengalahkan Kertajaya raja Kadiri. Ia kemudian menjadi raja pertama di Tumapel bergelar Sri Ranggah Rajasa. Ibu kota kerajaannya disebut Kutaraja (yang pada tahun 1254 diganti menjadi Singhasari).

Ken A(ng)rok bukan nama, melainkan sebutan pengenal yang berupa gabungan dua unsur. Unsur pertama "ken", semacam gelar kehormatan bagi perempuan dan laki-laki, tetapi bukan karena keterhormatan silsilahnya yang berdarah biru. Gelar kehormatan "ken" diberikan masyarakat pada seseorang karena kemuliaan budinya, sedangkan gelar keterhormatan diberikan atau tidak diberikan masyarakat, dianggap sudah melekat karena pangkat dan asal- usul pada pribadi yang bersangkutan.

Patung Dwarapala diperkirakan sebagai patung penjaga di pintu masuk Kerajaan Singhasari

Ini perlu ditegaskan, agar kita bisa membedakan gelar kehormatan "ken" ini dengan, misalnya, gusti, raden mas. Dari perkawinan Ken Arok dengan Ken Dedes telah melahirkan 4 (empat) orang anak, yaitu

Mahisa Wunga Teleng
Panji Saprang
Agnibhaya
Dewi Rimbu

Ken Arok juga memiliki selir bernama Ken Umang, yang telah memberinya 4 (empat) orang anak pula, yaitu

Tohjaya
Panji Sudatu
Tuan Wergola
Dewi Rambi.

Selain itu, Ken Dedes juga memiliki putra dari Tunggul Ametung yang bernama Anusapati.

Keistimewaaan Ken Arok

Nama Rajasa selain dijumpai dalam kedua naskah di atas, juga dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Nama Ken Arok memang hanya dijumpai dalam Pararaton, sehingga diduga kuat merupakan ciptaan pengarang naskah tersebut sebagai nama asli Rajasa. Arok berasal dari kata rok yang artinya berkelahi. Tokoh Ken Arok memang dikisahkan nakal dan gemar berkelahi. Terlepas dari benar atau tidaknya kisah Ken Arok, dapat ditarik kesimpulan kalau pendiri Kerajaan Tumapel hanya seorang rakyat jelata, namun memiliki keberanian dan kecerdasan di atas rata-rata sehingga mengantarkan dirinya sebagai pembangun suatu wangsa baru yang menggantikan dominasi keturunan Airlangga dalam memerintah tanah Jawa.

Ken Arok dalam Nagarakretagama

Sri Ranggah Rajasa meninggal dunia pada tahun 1227 (selisih 20 tahun dibandingkan berita dalam Pararaton). Untuk memuliakan arwahnya didirikan candi di Kagenengan (sebelah selatan Singhasari), di mana ia dipuja sebagai Siwa, dan di Usana, di mana ia dipuja sebagai Buddha. Sedangkan Ken Dedes yang tidak diketahui tahun meninggalnya, diperkirakan dibuatkan arca sangat indah yang diketemukan di Singosari, yaitu arca Prajnaparamita.

Arca Prajnaparamita

Pembunuhan terhadap Sang Rajasa yang dikisahkan Pararaton mendapat sokongan dari Prasasti Mula Malurung (1255). Disebutkan dalam prasasti itu, nama pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang meninggal di atas takhta kencana. Berita dalam prasasti tersebut menunjukkan kalau kematian Sang Rajasa memang tidak sewajarnya.

Akhir Pemerintahan Ken Arok

Anusapati merasa heran pada sikap Ken Arok yang menganaktirikan dirinya, padahal ia adalah putra tertua. Setelah mendesak ibunya (Ken Dedes), akhirnya ia tahu kalau dirinya memang anak tiri. Bahkan, ia juga tahu kalau ayah kandungnya bernama Tunggul Ametung yang mati dibunuh Ken Arok.

Anusapati berhasil mendapatkan keris Mpu Gandring yang selama ini disimpan Ken Dedes. Ia kemudian menyuruh pembantunya yang berasal dari desa Batil untuk membunuh Ken Arok. Pada hari itu kamis pon wuku Landep tahun saka 1169 Ken Arok tewas ditusuk dari belakang saat sedang makan. Anusapati ganti membunuh pembantunya itu untuk menghilangkan jejak. Peristiwa kematian Ken Arok dalam naskah Pararaton terjadi pada tahun 1247.